Inilah Warisan Kita

Bagaimana Semua Dimulai

Bali dulunya adalah surga yang tak terjamah—pulau dengan hamparan sawah hijau zamrud, hutan suci, dan hubungan spiritual yang mendalam dengan alam. Kehidupan di sini berputar di sekitar agroforestri, pertanian berkelanjutan, dan tradisi yang telah membentuk identitas Bali. Tanah yang tersedia, budaya yang berkembang, dan harmoni dengan alam telah menjadi cara hidup. Namun seiring berkembangnya pariwisata, keseimbangan tersebut mulai tergeser.

 

Hutan suci berubah menjadi sanggraloka, lahan subur menjadi beton, dan tradisi harus berjuang untuk bertahan di tengah dunia yang berubah cepat. Tapi warisan Bali belum hilang. Kami percaya bahwa sekarang saatnya menggeser pariwisata dari sekadar hiburan menjadi pendidikan, kesadaran, dan regenerasi. Jika kita ingin mempertahankan Bali yang kita cintai, kita harus melindunginya.

Warisan Bali:
Sebuah perjalanan melintasi waktu

Tahun...
1900
Awal yang Subur

TTanah vulkanik Bali termasuk yang paling subur di dunia. Hal ini menjadikan pulau ini pusat pertanian, dengan sawah yang subur, sistem agroforestri, dan ekosistem yang kaya. Praktik pertanian tradisional seperti Subak (sistem irigasi), terintegrasi dengan praktik spiritual, menciptakan harmoni antara manusia dan alam. Keanekaragaman hayati Bali tumbuh subur saat masyarakat hidup berkelanjutan bersama tanah.

1906
Awal Perkembangan Budaya

Awal tahun 1900-an, identitas budaya Bali mulai menguat seiring dengan berkembangnya tarian, seni, dan tradisi keagamaan yang unik. Pura dan upacara menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat, memperkuat ikatan spiritual mereka dengan alam. Lanskap budaya tumbuh berdampingan dengan lingkungan alamnya, menjadi dasar dari warisan unik pulau ini.

1908
Pengaruh Kolonial Belanda

Hindia Belanda mulai memperkuat pengaruhnya di Bali pada awal abad ke-20, yang berdampak pada pertanian dan tradisi lokal. Meskipun sebagian besar Bali masih belum tersentuh oleh pembangunan skala besar saat itu, fokus ekonomi pada pertanian dan perdagangan meningkat di bawah pemerintahan kolonial, sementara praktik budaya terus berkembang. Setelah peristiwa Puputan Badung ("pertempuran sampai mati" Kerajaan Badung sebagai protes terhadap kekuasaan kolonial Belanda, 1906), Belanda menyadari rentannya budaya unik ini dan berharap untuk meredakan kerusakan budaya lebih lanjut melalui kebijakan Baliseering-nya, yang bertujuan untuk mengembangkan Bali sebagai tujuan wisata dengan mempromosikan kebangkitan budaya.

1920
Kejayaan Pertanian Padi dan Keberlanjutan

Tahun 1920-an menjadi puncak pertanian tradisional di Bali, dengan budidaya padi yang berkembang berkat tanah vulkanik yang subur. Periode ini juga ditandai dengan meningkatnya upaya pelestarian lingkungan melalui pemerintahan lokal dan praktik keagamaan. Keanekaragaman hayati Bali tetap terjaga, dan pertanian terintegrasi dengan praktik spiritual dan lingkungan yang menopang budaya dan alam.

1942 - 1945
Perang Dunia II dan Perjuangan Bali

Perang Dunia II mengganggu kedamaian Bali, dengan adanya pendudukan Jepang yang menyebabkan penurunan produksi pertanian. Masa ini ditandai oleh penurunan tajam hasil panen padi, dan sistem pertanian tradisional Bali ditinggalkan demi memenuhi kebutuhan perang. Ekosistem pulau yang rapuh mulai menunjukkan tanda-tanda awal kerusakan.

1945
Pemulihan Pasca Perang

Setelah Perang Dunia II berakhir, Bali mulai bangkit ketika para petani lokal menjalankan kembali praktik pertanian tradisional. Namun, dampak perang masih terlihat jelas dan perekonomian lambat untuk pulih. Meskipun tangguh, budaya Bali menghadapi tantangan seiring dengan perubahan perlahan menuju modernisasi.

1950 - 1970
Awal Masuknya Pariwisata

Pada periode ini, pariwisata mulai menunjukkan pengaruhnya di Bali secara perlahan. Wisatawan asing berdatangan, tertarik dengan keindahan alam, budaya, dan keunikan pulau ini. Pada tahun 1970an, pariwisata mulai menunjukkan pertumbuhan dan Bali menjadi lebih mudah diakses oleh para wisatawan. Meskipun relatif belum terjamah, gelombang awal pariwisata ini mulai memberikan tekanan pada lingkungan Bali, ditambah dengan munculnya deforestasi dan perluasan kota.

1963
Letusan Gunung Agung

Letusan Gunung Agung pada tahun 1963 merupakan momen penting dalam sejarah Bali. Letusan ini menimbulkan kerusakan yang luas pada sektor pertanian dan infrastruktur, dan juga memicu refleksi spiritual yang mendalam di kalangan masyarakat Bali. Hubungan masyarakat dengan alam kembali diperkuat ketika pulau ini menunjukkan ketangguhannya selama proses pemulihan.

1969
Langkah Awal Menuju Pariwisata Berkelanjutan

Pada tahun 1969, langkah awal untuk mengatur pariwisata mulai dilakukan. Meskipun belum diatur sepenuhnya, pariwisata mulai menjadi aspek perekonomian yang menonjol. Pada periode ini, terdapat pembangunan beberapa infrastruktur dasar, seperti jalan dan akomodasi, namun pulau ini masih berhasil mempertahankan sebagian besar integritas lingkungannya.

1972
Meningkatnya Investasi Asing

Awal tahun 1970-an menandai titik balik dengan adanya peningkatan investasi asing, khususnya di industri hotel dan sanggraloka. Perekonomian Bali tumbuh seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan, tetapi eksploitasi sumber daya alam demi pembangunan membuat harmoni antara masyarakat dan alam mulai tergerus.

1980
Ledakan Pariwisata Massal

Pada tahun 1980an, pariwisata di Bali meledak, menarik jutaan wisatawan. Hotel, sanggraloka, dan restoran mulai bermunculan di berbagai tempat, menggusur praktik pertanian lokal. Keanekaragaman hayati menurun drastis seiring dengan pembukaan hutan untuk pembangunan. Ekosistem dan sistem pertanian tradisional mulai menunjukkan tanda penurunan yang signifikan, sementara tingkat polusi dan limbah meningkat tajam.

1990
Komersialisasi dan Kerugian Ekologis

Pada tahun 1990an, Bali menghadapi komersialisasi yang sangat pesat. Jumlah wisatawan meroket dan industri pariwisata menyebabkan kerusakan lingkungan. Keanekaragaman hayati menurun 30%, deforestasi mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dan pertanian lokal ditinggalkan demi pengembangan properti. Sumber daya alam Bali dieksploitasi secara berlebihan, dan ekosistem di pulau pun semakin terancam.

2002
Tragedi Bom Bali

Pada tahun 2002, tragedi Bom Bali sangat berdampak pada industri pariwisata di pulau ini. Jumlah wisatawan menurun drastis, yang untuk sementara mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Namun, ketergantungan Bali pada pariwisata segera mengembalikannya ke pola pertumbuhan yang sama, dan jumlah wisatawan pulih hanya dalam beberapa tahun.

2005
Meningkatnya Krisis Sampah di Bali

Pada tahun 2005, Bali menghadapi krisis sampah besar. Dengan lebih dari 2 juta wisatawan per tahun, volume sampah juga meningkat lebih dari 50%. Sistem pengelolaan limbah yang rapuh tidak mampu mengatasi lonjakan sampah plastik dan sampah umum. Pantai dan lanskap di Bali semakin banyak dipenuhi sampah, memicu krisis lingkungan yang semakin besar.

2010 - 2020
Perjuangan untuk Berkelanjutan

Pariwisata di Bali tumbuh secara eksponensial, mencapai lebih dari 5 juta wisatawan setiap tahunnya. Pertumbuhan ini, ditambah dengan pesatnya urbanisasi, mengakibatkan penurunan lingkungan yang signifikan: volume sampah meningkat 60%, keanekaragaman hayati turun 40%, dan lahan pertanian tradisional banyak diubah menjadi kawasan properti. Sumber daya alam Bali dieksploitasi secara berlebihan, dan ekosistem pulau berada di ambang kehancuran.

2017
Krisis Sampah Plastik di Bali

Pada tahun 2017, Bali menjadi terkenal dengan sampah plastiknya. Dilaporkan sekitar 3,5 juta ton sampah plastik dihasilkan di pulau ini setiap tahunnya, yang mengakibatkan polusi laut dan kerusakan ekosistem laut. Gaya hidup tradisional Bali yang dulunya selaras dengan alam kini terancam oleh polusi, limbah, dan praktik pariwisata yang tidak berkelanjutan.

2019
Peringatan Lingkungan Bali

Pada tahun 2019, keanekaragaman hayati Bali turun 40%, dan sumber daya alamnya sangat terkuras. Lingkungan berada dalam krisis, dengan pantai, hutan, dan sistem air yang tercemar. Industri pariwisata terus berkembang, tetapi tekanan terhadap ekosistem tidak dapat disangkal lagi. Satwa liar Bali semakin terancam punah, dan tradisi serta spiritual Bali mulai memudar seiring dengan dominasi pariwisata.

2020
Pariwisata di Ambang Kehancuran (Dampak COVID-19)

Pada tahun 2020, pandemi COVID-19 menghentikan pariwisata Bali, sehingga memberikan jeda sementara dari kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Selama masa pembatasan wilayah, alam mulai pulih, air lebih jernih dan polusi menurun. Masa ini membuka mata banyak pihak terhadap dampak destruktif dari pertumbuhan pariwisata yang tidak terkendali. Ketika lingkungan Bali perlahan pulih, muncul kesadaran baru bahwa masa depan pulau ini bergantung pada pergeseran menuju praktik pariwisata berkelanjutan dan berbasis ekologi.

2021
Pemulihan Pariwisata

Pada pertengahan tahun 2021, Bali membuka kembali perbatasannya dengan protokol kesehatan yang ketat. Industri pariwisata mulai pulih perlahan dengan jumlah wisatawan mencapai 1,5 juta orang pada akhir tahun. Meski ada pembatasan, Bali mengalami lonjakan wisatawan domestik dan memperbarui fokusnya pada kesehatan dan ekowisata.

2022
Pemulihan yang Stabil

Pariwisata di Bali terus meningkat dengan kedatangan sekitar 3 juta wisatawan. Fokus yang beralih ke praktik berkelanjutan, dengan munculnya sanggraloka dan inisiatif ramah lingkungan, semakin mendapat perhatian. Lingkungan Bali terus pulih dari dampak pandemi, namun tekanan dari meningkatnya wisatawan mulai muncul kembali.

2023
Seruan untuk Bertindak

Pariwisata di Bali mencapai sekitar 5,5 juta wisatawan pada tahun 2023, mendekati jumlah wisatawan sebelum pandemi. Lonjakan ini memperjelas urgensi pariwisata berkelanjutan. Kesadaran bahwa keindahan alam, budaya, dan cara hidup Bali sedang terancam memicu upaya serius untuk melestarikan lingkungan dan tradisi pulau ini. Pemerintah daerah, organisasi lingkungan, dan sektor swasta mulai fokus pada pengurangan jejak karbon di Bali, mendorong pariwisata yang bertanggung jawab, dan menghidupkan kembali praktik pertanian serta dan budaya tradisional. Upaya-upaya ini menandai dimulainya gerakan transformatif menuju pariwisata berkelanjutan dan pemulihan jangka panjang Bali.

Musim Panas 2024
Lahirnya Restore the Legacy

Marcel dan Renee mempunyai impian untuk menghidupkan kembali warisan lingkungan, pertanian, dan budaya Bali. Percakapan mereka di musim panas tahun 2024 menjadi titik awal lahirnya Restore the Legacy—sebuah gerakan yang berfokus pada pemulihan keseimbangan pulau ini melalui ekowisata, pertanian berkelanjutan, dan pelestarian kehidupan tradisional Bali. Gerakan ini lahir dari kecintaan terhadap budaya Bali dan keinginan untuk memastikan warisan pulau ini tetap hidup bagi generasi yang akan datang. Pada awal tahun 2024, Nava yang sejak lama berkomitmen melindungi warisan budaya Bali, bergabung dengan mereka, membawa semangat dan akar lokalnya untuk memperkuat misi tersebut. Bersama, mereka bertekad menciptakan dampak jangka panjang.

1 Januari 2025
Pengakuan ANBI

Restore the Legacy secara resmi diakui sebagai ANBI (Organisasi Kepentingan Publik) pada tanggal 1 Januari 2025. Tonggak penting ini menandai dimulainya gerakan formal yang didedikasikan untuk memulihkan kesehatan budaya dan lingkungan Bali. Organisasi ini memperoleh pengakuan dan dukungan, yang menandakan bahwa warisan Bali telah menemukan para penjaga baru yang siap memperjuangkannya.

12 April 2025
Peluncuran Resmi

Pada tanggal 12 April 2025, Restore the Legacy resmi diluncurkan dengan berpedoman pada tradisi Bali. Tanggal ini dipilih oleh pendeta Bali berdasarkan numerologi dan makna budaya. Tanggal 12 April melambangkan angka kelahiran kembali, pembaruan, dan pemulihan—selaras dengan misi kami untuk menghidupkan kembali warisan Bali yang telah hilang. Peristiwa ini akan menjadi momen penting dalam perjalanan Bali menuju pemulihan ekologi dan pelestarian budaya.

Sumber Terverifikasi untuk Akurasi dan Transparansi

Untuk memastikan akurasi, transparansi, dan kredibilitas dari lini masa yang telah kami buat, kami menggunakan informasi dari sumber-sumber yang terpercaya dan bereputasi baik. Informasi tersebut mencakup laporan dari Bank Dunia, UNEP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, WWF Indonesia serta data Statistik Pariwisata Bali dan pemerintah. Selain itu, kami juga merujuk pada penelitian ilmiah, buku sejarah, dan kesaksian langsung untuk memberikan gambaran faktual mengenai evolusi lingkungan dan budaya Bali. Dengan menggunakan sumber-sumber terpercaya ini, kami bertujuan untuk menyajikan narasi yang transparan dan dapat diverifikasi mengenai transformasi Bali serta urgensi perlindungan dan pelestariannya.

Daftar Sumber Lengkap

Perjalanan Kami untuk Melindungi Bali

Pada musim panas tahun 2024, Marcel dan Renee berbagi visi untuk memulihkan warisan Bali—berangkat dari keyakinan bahwa keindahan alam yang unik, warisan budaya, dan cara hidup tradisional di pulau ini harus dilestarikan untuk generasi mendatang. Mimpi mereka sederhana namun penuh makna: melindungi hutan hujan Bali, menghidupkan kembali keanekaragaman hayati, dan merayakan tradisi yang mengakar di pulau ini seperti agroforestri dan praktik pertanian berkelanjutan.

 

Apa yang awalnya merupakan semangat bersama kemudian berkembang menjadi Restore the Legacy—sebuah gerakan yang didorong oleh kebutuhan mendesak untuk menggabungkan konservasi lingkungan dengan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan Marcel dan Renee berpusat pada penghormatan terhadap tradisi lokal, sembari memperkenalkan praktik berkelanjutan yang dapat menjamin kesejahteraan Bali di masa depan. Misi ini lebih dari sekadar melindungi alam—tetapi juga menjaga cara hidup masyarakat Bali, yang telah bertahan selama berabad-abad dalam keselarasan dengan alam.

 

IPada awal tahun 2024, Renee dan Nava dipertemukan melalui seorang teman. Pertemuan itu langsung dipenuhi rasa saling memahami, seolah-olah ada kekuatan yang lebih besar sedang bekerja. Nava telah berkontribusi nyata di lingkungannya, membawa perubahan berkelanjutan dan melestarikan warisan Bali, sementara keluarga Renee telah lama terlibat dalam upaya serupa. Renee melihat Nava memiliki semangat, kecerdasan, dan ketulusan hati dalam menjalankan misi ini—sebuah percikan bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bekerja sama demi masa depan alam yang lebih baik. Tanpa akar lokal, misi ini tidak memiliki masa depan. Seiring semakin eratnya hubungan mereka, keduanya menyadari bahwa mereka akan menjembatani kearifan Bali dan kekuatan Eropa Barat untuk menciptakan warisan abadi, dengan menggabungkan visi dan kekuatan masing-masing.

Pada awal tahun 2025, mereka mencapai tonggak penting ketika Restore the Legacy memperoleh pengakuan ANBI, yang memperkuat legitimasi proyek ini sebagai bagian penting dari upaya konservasi Bali. Tanggal peluncuran resminya, 12 April 2025, dipilih dengan khusus oleh seorang pendeta Bali agar selaras dengan tradisi budaya dan numerologi pulau ini, yang mencerminkan makna spiritual dan praktis dari misi tersebut.

 

Saat ini, gerakan ini terus berkembang, menyatukan orang-orang dari berbagai belahan dunia dengan tujuan yang sama: melindungi warisan alam dan budaya Bali. Dengan menggabungkan ekowisata, inisiatif berbasis komunitas, dan penghormatan terhadap tradisi lokal, Restore the Legacy membangun masa depan di mana alam dan manusia tumbuh bersama.

 

Kami bangga dengan pencapaian sejauh ini, namun perjalanan kami baru saja dimulai. Sebagai tim yang terdiri dari individu-individu yang penuh semangat, kami berkomitmen untuk mewujudkan impian ini bagi Bali dan sekitarnya. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari gerakan yang akan meninggalkan warisan abadi untuk generasi mendatang. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana perjalanan ini dimulai dan visi di baliknya, kunjungi halaman Jelajahi Akar Kami.

 

Untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana perjalanan ini dimulai dan visi di baliknya, kunjungi halaman Temukan Akar Kami kami.


Temukan akar kami

PERJALANAN KAMI

UNTUK MELINDUNGI BALI

Copyrights © 2025 All Rights Reserved by Restore The Legacy | KVK: 95669493 | RISN nummer: 8672 32 389

Een moment geduld aub..